Minggu, 31 Mei 2009

LEMBAR KERJA SISWA

LEMBAR KERJA SISWA
(KAJIAN BERFIKIR SECARA RASIONAL)
Oleh : Iin Yuristin N.,S.Pd
Guru Fisika SMA Negeri I Patianrowo

Berpikir tidak dapat dipisahkan dari isi materi pelajaran, karena kenyataannya berpikir merupakan sebuah cara untuk mempelajari isi materi pelajaran. Dalam suatu pembelajaran, siswa sebaiknya diajarkan untuk berpikir logis, menganalisis dan membandingkan, serta mempertanyakan dan mengevaluasi (Raths et al, 1967). Ketika membaca suatu teks, siswa harus dilatih untuk membaca secara kritis. Membaca secara kritis didefinisikan sebagai belajar mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan isi suatu bacaan, bukan sekedar menghafal fakta atau informasi yang dicantumkan dalam suatu bacaan. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan membaca kritis adalah dengan menyediakan bahan bacaan seperti koran, majalah, dan artikel di dalam kelas (Carr, 1990). Dengan membaca media tersebut, siswa akan dilatih untuk menjadi pembaca yang mempertanyakan isi dari bacaan. Siswa akan membangun argument-argumennyanya sendiri untuk kemudian disampaikan dalam diskusi kelas
Apa yang disajikan dalam suatu rangkuman materi pada buku LKS? Sebagian besar buku LKS hanya menyajikan rangkuman materi yang berupa poin-poin penting saja, bukan suatu bacaan yang lengkap. Dengan model ini, siswa diibaratkan hanya dijejali dengan fakta dan informasi saja, tanpa diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Model rangkuman seperti ini mungkin saja baik bagi siswa yang sudah terlebih dulu membaca materi pelajaran yang ada di dalam buku teks. Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa banyak sekolah - terutama sekolah negeri - yang menjadikan LKS ini sebagai satu-satunya buku pelajaran. Dengan demikian, melalui bacaan yang berupa rangkuman materi tersebut dalam LKS tersebut, kesempatan siswa untuk membaca kritis tidak tersedia. Bacaan-bacaan seperti itu hanya mengajarkan kepada siswa untuk menghafalkan fakta-fakta yang ada tanpa memberikan kesempatan untuk memikirkannya lebih jauh. Kondisi ini mirip dengan apa yang dituliskan oleh Raths dkk pada tahun 1967 yang menyatakan bahwa “…memorizati on, drill, homework, and the quiet classroom were rewarded, while “…inquiry, reflection and the consideration of alternatives were frowned upon” (Carr, 1990). Kemudian bagaimana dengan model soal pilihan ganda yang terdapat dalam buku LKS tersebut? Pada tahun 1991 badan American Education Reform menyatakan bahwa soal-soal pilihan ganda tidak dapat digunakan untuk mnguji kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan problem solving, kreativitas, dan sikap inisiatif. Jenis soal pilihan ganda hanya dapat melatih kemampuan berpikir tingkat rendah seperti menghafal (Lynn, et al, 1991).
Buku pelajaran bagi guru dan siswa memiliki peran yang sangat penting. Keberadaan buku pelajaran idealnya disediakan sekolah atau bahkan telah tersedia di perpustakaan sekolah. Seiring gonta-gantinya kurikulum, buku pelajaranpun ikut berganti. Perubahan kurikulum membuat tenaga pendidik mengalami kebingungan untuk melakukan penyesuaian. Berbeda dengan penerbit buku, ganti kurikulum merupakan lahan baru untuk mencetak buku dan mengembangkan sayap bisnisnya..
Selama ini penerbit memang mencari terobosan penjualan ke lingkup sekolah-sekolah. Yang namanya bisnis tentu saja mana yang lebih menguntungkan, itulah yang dijalani. Untuk dapat lolos masuk ke suatu sekolah, biasanya se-izin kepala sekolah atau guru bidang studi yang terkait. Memang diakui guru sering mendapat potongan dari harga jual yang sesungguhnya. Hal ini sangat wajar mengingat pelaku bisnis memang harus saling menguntungkan.Yang tidak wajar adalah baik guru maupun penerbit melaksanakan pemaksaan pembelian pada anak. Sementara keuntungan dinikmati oleh para gurunya. Perilaku ini jelas harus ditolak. Pertanyaannya akan berbeda bila potongan harga tersebut justru diberikan pada siswa sehingga harga belinya bertambah murah. Pelarangan jual buku di sekolah memang tidak boleh digebyah uyah. Cara-cara sekolah langsung droping buku pada siswa, guru langsung menjual harga mahal hanya demi keuntungan sekolah dan pribadi pantas disesalkan.Akibat perilaku bisnis yang hanya menekankan aspek keuntungan inilah yang barangkali alasan pemerintah dan pejabat di daerah melarang penjualan buku di sekolah. Yang paling aman adalah bisnis buku di sekolah dilarang, namun kebutuhan untuk anak didik dipenuhi pemerintah dan sekolah. Bila hal ini terjadi sangat diyakini bisnis buku di sekolah tidak akan laku. Persoalan yang ada di sekolah, buku pelajaran belum ada, sementara kurikulum telah berganti dan harus menyesuaikan diri. Betapa sedihnya guru, bila dalam pembelajaran siswa-siswinya tidak memiliki buku pegangan. Yang ironis lagi gurunya pun belum memiliki buku sumber yang seharusnya. Ini memprihatinkan bukan?
.Meski penggunaan buku LKS di sekolah-sekolah tidak pernah secara eksplisit diwajibkan, karena kebanyakan guru memberi tugas yang pengerjaannya menggunakan LKS, mau tidak mau siswa terpaksa membelinya.Penggunaan buku LKS di sekolah-sekolah bersimaharajalela sejak tahun 90-an. Lembar-lembar pendukung kegiatan pembelajaran berisi hasil pengamatan siswa praktikan di laboratorium yang semula hanya dipergunakan untuk pelajaran tertentu seperti Biologi, Fisika atau Kimia itu -entah oleh "guru kreatif" mana- ruang penggunaannya direntangluaskan sedemikian rupa hingga mencakup hampir semua mata pelajaran di sekolah. Dari tingkat SD hingga SLTA, dan formatnya diubah dalam wujud buku. Kesuksesan perentangluasan ruang penggunaan dan perubahan format LKS itu dalam perkembangannya dengan cepat dan sigap ditangkap oleh para pemodal, pengusaha percetakan, dan penerbitan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Alhasil, dengan melibatkan guru sebagai penyusun materi, serta-merta LKS diproduksi secara besar-besaran dan pendistribusiannya pun diorganisasi dengan menggunakan sistem dan mekanisme pemasaran layaknya produk dagang lainnya. Peran penting guru, baik sebagai penyusun materi maupun sebagai pengguna LKS, disadari benar oleh penerbit. Oleh karena itu, untuk "memaksa" guru taat dan patuh menjalankan perannya sesuai yang dikehendaki, penerbit merangkul Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai rekanan dalam pembuatan, penggunaan sekaligus pendistribusian LKS.Logika yang dipakai, guru, pengurus MGMP, ataupun anggota, bila diserahi tugas oleh kordinator MGMP -biasanya dijabat oleh kepala sekolah- tentu akan merasa pekewuh bahkan "takut" sehingga bergegas melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Layaknya hukum yang berlaku di dunia perdagangan, pelibatan pihak lain dalam menyukseskan usaha amatlah lazim bila diberi bagian hasil keuntungan. Terniscayakan demikian halnya dengan guru anggota, pengurus, bahkan koordinator MGMP.
Kreativitas Guru
Buku memang tetap menjadi sumber utama pengajaran. Guru harus pandai mendesain dan mengembangkan materi ajar sesuai dengan kurikulum. Berlakunya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) diharapkan guru semakin kreatif. Namun jangan sampai saking kreatifnya keluar dari koridor bahan utama dan berdampak murid gagal ujian sebab menyimpang dari kurikulum.Menurut Data Balitbang Depdiknas (2004) berkaitan dengan analisis biaya satuan pendidikan (BSP) untuk pendidikan dasar dan menengah, kewajiban orangtua peserta didik untuk sekolah harus mengeluarkan biaya: (1) buku dan alat tulis sekolah (2) pakaian dan perlengkapan sekolah (3) akomodasi (4) transportasi (5) konsumsi (6) kesehatan (7) karyawisata (8) uang saku (9) kurus/les (10) iuran sekolah dan (11) foregone earing.
Begitu beratnya tanggung jawab orangtua peserta didik setiap tahun ajaran baru dalam menyekolahkan anaknya. Kewajiban membeli buku pelajaran baru merupakan urutan ketiga yang memberatkan orangtua, berdasarkan penelitian ICW (Indonesia Coruption Watch) tahun 2005. Padahal yang namanya sekolah untuk mengejar ketertinggalan (semakin maju) tidak pernah dari kebutuhan buku pelajaran yang bermutu. Namun dapatkah buku pelajaran itu mampu dibeli tanpa pewarisan kepada peserta didik berikutnya? Dilematis buku pelajaran tidak lepas dari pergantian kurikulum. Pemerintah seakan tidak konsisten dengan kebijakan yang diambil. Berlakunya KBK tahun 2004 kemudian direvisi dengan berlakunya KTSP 2006 seolah mementahkan Peraturan Mendiknas Nomor 11 tahun 2005 tentang buku tekspelajaran Dalam PerMen tersebut ada dua hal yang penting. Pertama buku teks pelajaran berlaku lima tahun. Kedua sekolah dilarang menjual buku pelajaran. Dilihat dari konteksnya seolah-olah melindungi dan memperjuangkan kepentingan orangtua peserta didik. Namun realitanya? Ganti kurikulum berarti ganti buku pegangan! Dalam aturan itu pemerintah hanya sebatas memindahkan tempat jual beli buku dari sekolah ke toko buku/pasar. Namun bila diamati birokrasi justru menikmati keuntungan lebih besar dengan praktik bisnis buku pelajaran. Penerbit yang banyak menerima rekomendasi akan lebih besar memproduksi dan menekan sekolah untuk menerima, menggunakan dan menjual buku pelajaran.
Menyimak permasalahan buku di sekolah, kiranya guru harus menjawab
dengan kreativitas. Untuk mencukupi kebutuhan siswa guru dapat mendesain sumber belajar entah dalam wujud ringkasan materi, buku pegangan, modul atau bahkan lembaran kerja siswa (LKS) dengan tidak berlandaskan pada mentalitas bisnis. Hal ini akan menguntungkan baik siswa maupun guru. Bagi guru, kreativitas bagian dari pengembangn profesinya yang akan berguna pada masing-masing pribadi guru. Selain itu, bagi siswa akan tercukupi kebutuhannya tentang ketersediaan bahan-bahan pelajaran.
Yang menjadi pertanyaan, dari jutaan guru di Tanah Air ini yang telah berbuat demikian berapa persen ? Andaikan telah membuat buku dan yang sejenisnya, benarkah mereka tidak mencari untung dan semata-mata hanya untuk membantu kebutuhan siswa ?

1 komentar:

  1. TULISAN SAUDARA SANGAT BAGUS SAYANG BELUM BANYAK GURU YANG SEPAHAM DENGAN SAUDARA DENGAN ALASAN MENGADA-MENGADA

    BalasHapus