Minggu, 31 Mei 2009

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA
DENGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Oleh : Iin Yuristin N.,S.Pd
Guru Fisika SMA Negeri I Patianrowo

PENDAHULUAN
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (Added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks).
Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk computer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtual enemy yang telah masuk keseluruh pelosok dunia ini.
Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, professional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil diatas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran

Peningkatkan kompetensi siswa tidak bisa dipandangan secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progress reports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan. Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan system terutama system manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi system apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun dirobah menurut kebutuhan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat dimana sekolah tersebut berada.
Berdasarkan analisa diatas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (Educated Sociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.

KAJIAN TEORI
a. Kompetensi
Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara kerterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang.
Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar konpetansi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.

b. Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Malen, Ogawa & Kranz, 1990 dalam Abu-Duhou manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengindentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan.
Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis- implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah system manajemen yang mampu menanggulangi permasalah tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.
Candoli, 1995 dalam Abu-Duhou, menjelaskan bahwa Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk "memaksa" sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah.
Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para "stakeholder" maka pihak sekolah akan "dipaksa" untuk memenuhi kebutuhan-kebetuhan tersebut.
c. Otoritas Sekolah Dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Secara khusus hal-hal yang di desentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks, 1992 dalam Abu-Duhou, membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu :
Pengatahuan (Knowledge); otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan.
Teknologi (Technology); otoritas mengenai srana dan prasaran pembelajaran
Kekuasaan (Power); kewenangan dalam membuat keputusan.

Material (Material); kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah.
Manusia (People) kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran.
Waktu (Time); kewenangan mengalokasikan waktu
Keuangan (Financial); kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan.

Sedangkan Thomas, 1997 dalam Abu-Duhou, mengelompokkan kewenagan sekolah dalam manajemen berbasisi sekolah dalam empat hal, yaitu :
Penerimaan (admission); kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima diseklolah.
Penilaian (Assessment); kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai.
Informasi (Information); kewenangan untuk menseleksi data mengenai kinerja sekolah dan mempublikasikannya.
Pendanaan (Funding); kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.

PEMBAHASAN
a. Kompetensi Siswa
Untuk merespon bebagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya system pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan system pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan.
Salah satu bentuk system pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah system manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat dimana sekolah berada.

b. Strategi Pengembangan Kompotensi Siswa
Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyakj menghadapi tantangan, salah satu diantaranya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu dimasa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan.
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, dimana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan dimuka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya :
Mendapatkan guru yang berkualitas
Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
Menaikkan standar pembelajaran
Mereorganisasi kurikulum.

Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri.

Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah :
Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.

Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan non verbal yang perlu dimiliki setiap siswa.

Menurut B. Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas.
Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi :
1. Perbedaan Perseorangan,
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran dianatarany dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (Cooperative Learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.
2. Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hirarki keterampilan intelktual.
3. Motivasi,
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan peransang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal diatas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasan kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respon yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasan pembelajarn yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut
Disamping ketiga hal diatas yang perlu diperhatikan dalam kontek peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam kontek tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Competency based Curriculum. Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satun pendidikan.
Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Disamping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan dimasa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan terknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada.
Semua alternative solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan professional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, dimana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.
Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis diatas dapat terwajud.
PENUTUP
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberap hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan.
Akan tetapi jika mensfesifikasi pendidikan kedalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, dimana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari system tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan dimana sekolah tersebut berada.
DAFTAR BACAAN
Abu-Duhoui, Ibtisam, School Base Management, terjemahan Noryamin Aini, Suparto & Abas Al-Jauhari, cetPT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2002
Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar, Depdikbud Berkerjasama Dengan Dirjend Perguruan Tinggi, PPL Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 1989.
Gredler E. Bell Margaret, Belajar dan Membelajarkan, Terjemahan Munandir, CV, Rajawali, Jakarta, 1991
Sudjana, Nana, dkk, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2001
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan), Paramadina, Jakarta, 2001
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998
Snelbecker, Glenn. E, Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design, McGraw-Hill Book Company, United State of America, 1974
Tirtaradja, Umar, dkk, Pengantar Perndidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998.


.

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN RME
(REALISTICS MATHEMATIC EDUCATION)
Oleh : Muchammad Soffa
A. Pendahuluan
Dewasa ini yang masih menjadi pembicaraan hangat dalam masalah mutu pendidikan adalah prestasi belajar siswa dalam suatu bidang ilmu tertentu. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah bersama para ahli pendidikan, berusaha untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan. Upaya pembaruan pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah, diantaranya melalui seminar, lokakarya dan pelatihan-pelatihan dalam hal pemantapan materi pelajaran serta metode pembelajaran untuk bidang studi tertentu misalnya IPA, Matematika dan lain-lain. Sudah banyak usaha yang dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan Matematika di sekolah, namun belum menampakkan hasil yang memuaskan, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari hasil prestasi belajar siswanya.
Dari beberapa mata pelajaran yang disajikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, matematika adalah salah satu mata pelajaran yang menjadi kebutuhan system dalam melatih penalarannya. Melalui pengajaran matematika diharapkan akan menambah kemampuan, mengembangkan keterampilan dan aplikasinya. Selain itu, matematika adalah sarana berpikir dalam menentukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan matematika merupakan metode berpikir logis, sistematis dan konsisten. Oleh karenanya semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti selalu harus merujuk pada matematika.
Namun dibalik semua itu, yang terjadi selama ini adalah masih banyak siswa yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Saat ini banyak siswa yang hanya menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa mempertanyakan mengapa dan untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa dan dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang matematika yang membuat kekhawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Sementara itu kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata lain tidak melakukan pengajaran bermakna, metode yang digunakan kurang bervariasi, dan sebagai akibatnya motivasi belajar siswa menjadi sulit ditumbuhkan dan pola belajar cenderung menghafal dan mekanistis. Ditambah lagi dengan penggunaan pendekatan pembelajaran yang cenderung membuat siswa pasif dalam proses belajar-mengajar, yang membuat siswa merasa bosan sehingga tidak tertarik lagi untuk mengikuti pelajaran tersebut, terlebih lagi pelajaran matematika yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, sehingga pemahamannya membutuhkan daya nalar yang tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan ketekunan, keuletan, perhatian, dan motivasi yang tinggi untuk memahami materi pelajaran matematika..
Pada umumnya proses pembelajaran yang digunakan adalah dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yakni ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan pembelajarannya didominasi oleh guru dan sedikit melibatkan siswa. Karenanya mengakibatkan siswa bekerja secara procedural dan memahami matematika tanpa penalaran, selain itu interaksi antara siswa selama proses belajar-mengajar sangat minim.
Pada pembelajaran matematika, guru kurang memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika, siswa hanya menyalin apa yang dikerjakan oleh guru. Selain itu siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide dan mengkonstruksi sendiri dalam menjawab soal latihan yang diberikan oleh guru.
Masalah yang telah dikemukakan di atas, perlu melakukan perbaikan proses pengajaran. Salah satunya dengan menerapkan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk mengembangkan potensi secara maksimal. Banyak sekali model-model pembelajaran yang bisa diterapkan, sehingga memungkinkan guru untuk menyampaikan materi matematika secara menarik dan menyenangkan. Dalam kondisi peserta didik yang fun maka peserta didik dapat mengikuti dengan fun juga, maka mereka tidak merasa jenuh dalam belajar matematika
Semakin beranekaragamnya model pembelajaran seperti model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran STAD (Student Team Achievement Division), model pembelajaran RME (Realistics Mathematic Education), model pembelajaran JIGSAW dan lain-lain namun dalam pemilihan yang akan diterapkan haruslah disesuaikan dengan tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi yang hendak disampaikan, perkembangan peserta
Model pembelajaran RME (Realistic Matemathic Education), karena model pembelajaran ini dapat mendorong keaktifan, membangkitkan minat dan kreatifitas belajar siswa agar dapat meningkatkan hasil belajarnya. Pendekatan RME adalah salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang landasan filosofinya sejalan dengan falsafah konstruktivis yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang yang sedang belajar. Dalam hal ini pembelajaran dengan model RME siswa di dorong untuk aktif bekerja bahkan diharapkan untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri konsep-konsep matematika, dengan demikian RME berpotensi untuk meningkatkan prestasi belajar matematika

B. Hakikat Proses Belajar Mengajar Matematika
Untuk memahami pengertian proses belajar mengajar matematika, kita uraikan dulu istilah proses, belajar, mengajar dan matematika. Proses dalam pengertiannnya di sini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam ikatan untuk mencapai tujuan Sedangkan definisi belajar menurut beberapa pendapat adalah :
1. definisi menurut Slameto belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya
2. definisi menurut Sudjana belajar adalah suatu perubahan yang relative permanent dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek atau latihan
3. definisi menurut Winkel, belajar adalah suatu aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap serta perubahan relative konstan dan berbekas
Jadi berdasarkan definisi belajar di atas dapat dirumuskan definisi belajar yaitu proses perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan (skill), pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan ketrampilan dasar (psikomotor).
Pengertian mengajar pada umumnya adalah usaha guru untuk menciptakan kondisi atau menata lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi interaksi antara murid dengan lingkungan, termasuk guru, alat pelajaran dan sebagainya yang disebut proses belajar, sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan². Jadi mengajar pada hakekatnya suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan, mendorong dan memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa, dimana perubahan tingkah laku siswa diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam mempelajari matematika, sedangkan guru dalam mengajar harus pandai mencari pendekatan pembelajaran yang akan membantu siswa dalam kegiatan belajarnya.
C. Hakikat Model Pembelajaran RME (Realistic Mathematic Education)
1. Pengertian RME
RME diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada tahun 1973. RME sudah melalui proses uji coba dan penelitian lebih dari 25 tahun, implementasinya telah terbukti berhasil merangsang penalaran kegiatan berpikir siswa. Berikut ini akan dijelaskan pengertian RME :
a. RME adalah suatu pendekatan dimana matematika dipandang sebagai suatu kegiatan manusia (Freudental 1973, Teffers 1987)
b. RME adalah pendekatan pembelajaran yang bertolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan keterampilan proses of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan diri sendiri (student inventing sebagai kebalikan dari teacher telling) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok
c. RME merupakan model pembelajaran yang menempatkan relitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah yang nyata atau yang telah dikuasai dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa dan digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian matematika yang semakin meningkat (Soedjadi, 2001 : 2)
d. RME menurut Gravermeijer bahwa ide utama dari RME adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Usaha untuk membangun konsep tersebut adalah melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan relistik. Realistic dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan.
Secara teori RME mempunyai 5 karakteristik:
• Penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika
• Penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus
• Mengaitkan sesame topic dalam matematika
• Penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika
• Menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa
2. Ciri-Ciri Model Pembelajaran RME
• Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
• Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika
• Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika dibawah bimbingan orang dewasa (guru
• Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi focus dari semua aktifitas di kelas
• Aktifitas dilakukan meliputi menemukan masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (problem solving), dan mengorganisir bahan belajar
Pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran RME selain mempelajari dalam arah vertical (proses dalam matematika itu sendiri) juga mempelajari dalam arah horizontal meliputi pembuatan skema, merumuskan dan menggambarkan masalah dalam cara yang berbeda, menemukan hubungan dan keterkaitan mengungkapkan jawabannya. Melalui diskusi kelas jawaban siswa dibahas/dibandingkan. Dan guru membantu menganalisa jawaban siswa. Jawaban siswa mungkin salah semua, mungkin juga benar semua atau sebagian benar dan sebagian salah. Jika jawaban benar maka guru hanya menegaskan jawaban tersebut. Jika jawaban salah guru secara tidak langsung memberitahu letak kesalahan siswa yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa yang menjawab soal atau siswa lainnya. Selanjutnya siswa sapat memperbaiki jawabannya dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan.

PEMBELAJARAN KONSEP SISTEM KOORDINASI DENGAN

PEMBELAJARAN KONSEP SISTEM KOORDINASI DENGAN
MEMANFAATKAN PORTOFOLIO SISWA

Iin Yuristin N
(Guru Fisika di SMA Negeri I Patianrowo Nganjuk)
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang hasil belajar siswa, refleksi pengalaman belajar, kendala-kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, tanggapan dari siswa, guru dan orang tua siswa pada pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini "Quasi Experimental Design" yang melibatkan 78 orang siswa SMAN 1 kelas XI jurusan IPA di Patianrowo Nganjuk. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dapat meningkatkan hasil belajar (rata-rata post test kelas eksperimen 77, kelas kontrol 69,23; rata-rata gain kelas eksperimen 0,68, kelas kontrol 0,58). Data ketuntasan belajar kelas eksperimen yaitu 100% tuntas dan kelas kontrol 82% tuntas. Refleksi pengalaman belajar yang dilakukan setelah proses pembelajaran ternyata dapat menjadi umpan balik bagi siswa dalam memperbaiki karya mereka. Pada pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mendapat tanggapan positif dari siswa, guru dan orang tua siswa
Kata Kunci: Pembelajaran, Portofolio, Konsep Sistem Koordinasi
A. PENDAHULUAN
Pada hakekatnya, mengajar itu adalah suatu proses dimana guru dan siswa menciptakan lingkungan yang baik, agar terjadi kegiatan belajar mengajar yang berdaya guna. Setiap proses pembelajaran memerlukan suatu metode yang sesuai dengan tujuan pengajaran itu sendiri. Tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah (Rustaman, 1997: 6). Untuk mencapai tujuan tersebut perlu serangkaian kegiatan penilaian yang mengembangkan potensi siswa dalam kemampuan akademis (pengetahuan, keterampilan, wawasan) maupun dalam hal afektif (sikap, nilai dan kesadaran) dan psikomotor baik selama proses belajar maupun pada hasil belajar siswa.
Sebagai suatu inovasi pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio dilandasi oleh beberapa pandangan antara lain pemikiran sebagai berikut: (1) empat pilar pendidikan yaitu learning to do, learning to know. learning tobe and learning to live together; (2) pandangan konstruktivisme; dan 3) democrating teaching. Hal serupa juga dikemukakan oleh Elango (2005) portofolio tidak hanya digunakan untuk bukti dokumentasi tetapi juga dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pembelajaran. Portofolio yang dimanfaatkan dalam pembelajaran sangat akrab dengan prinsip belajar dari pengalaman. Berdasarkan tinjauan di atas diharapkan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio memberikan banyak pengalaman belajar. Menurut Rustaman (2003) faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pengalaman belajar adalah kesiapan siswa.
Adapun konsep yang dipilih dalam pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio yaitu Sistem Koordinasi. Sistem saraf merupakan salah satu materi pelajaran Fisika yang cukup abstrak, dan sulit dipahami siswa (Wijayanti, 2001: 5; Kurniati, 2001: 7). Menurut lbayati (2002: 20), penyajian sistem saraf menuntut kemampuan guru mengorganisasi isi pelajaran sebagai persiapan untuk membangun pengetahuan siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang:
1. Pelaksanaan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio pada konsep sistem koordinasi
2. Hasil belajar siswa setelah guru melaksanakan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio.
3. Peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
4. Refleksi pengalaman belajar yang dilakukan siswa setelah pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
5. Kendala yang ditemui siswa, guru, dan orang tua di lapangan dalam pelaksanaan pembelajaran konsep koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
6. Tanggapan dari siswa, orangtua dan guru terhadap pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.

Manfaat Penelitan:
1. Memberikan pengalaman dan masukan tentang pembelajaran sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
2. Bagi guru, dapat meningkatkan keterampilan, mengembangkan pendekatan, metode atau model dalam proses pembelajaran, dan keterampilan dalam penggunaan media pembelajaran khususnya pada pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio.
3. Memberikan pengalaman pembelajaran kepada siswa dalam meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik

B. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang melaksanakan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio dan kelompok kontrol yang melakukan pembelajaran konsep sistem koordinasi tanpa pemanfaatan portofolio. Pada masing-masing kelompok tersebut dilakukan pretes dan postes untuk mengetahui hasil belajar pada aspek kognitif pada kedua kelompok perlakuan. Pretes dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, postes dilakukan setelah PBM konsep sistem koordinasi.
Penelitian ini berbentuk "Quasi Eexperimental Design" (Fraenkel &Wallen ,1993: 248). Desain pelaksanaannya digambarkan sebagai berikut :
Tabel 1: Desain Penelitian
Kelompok eksperimen 01 X 01
Kelompok Kontrol 01 - 01

Keterangan
01 : pemberian tes awal (Pretest), pemberian tes akhir (Postest)
X : perlakuan dengan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas Xi IPA 1 dan Xi iPA 2 SMAN 1 di Kabupatan Nganjuk sebanyak 78 orang. Sampel diambil dengan mengundi untuk memilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa instrumen yang dirancang untuk mengumpulkan data. Adapun teknik dan alat pengumpulan data antara lain: (1) tes hasil belajar, (2) format penilaian portofolio, (3) format observasi, (4) format refleksi pengalaman belajar, (4) pedoman wawancara (untuk siswa dan orang tua siswa), dan (5) angket (untuk siswa dan orang tua siswa)
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang hasil belajar siswa dan peningkatan hasil belajar pada konsep sistem koordinasi dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3, sedangkan nilai tugas siswa dapat dilihat pada gambar 1.
Tabel 2. Deskripsi hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kelompok Pretes Postes
)7 S xmin Xmaks X S Xmin Xmaks
Eksperimen 27,25 7,67 11 43 77 7,19 60 91
Kontrol 27,20 7,21 11 43 69,23 7,34 51 86

Tabel 3. Deskripsi gain ternormalisasi hasil belajar siswa pada konser sistem koordinasi
Aspek Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Xmin Xmaks X S Xmin Xmaks X S
Hasil belajar siswa
pada konsep
sistem koordinasi 0,42 0,88 0,68 0,10 0,45 0,80 0,58 0,09

Dari pengujian rerata tes akhir nampak pada kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa dengan kelas kontrol yang tidak menerapkan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa memiliki perbedaan yang signifikan pada a = 0,05. Rerata kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Peningkatan secara langsung dapat dilihat dari nilai gain ternormalisasi kelas eksperimen 0,68 sedang kelas kontrol 0,58, bila dikategorikan peningkatan tersebut termasuk kategori sedang. Dari pengujian rerata tes akhir dan gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan yang signifikan pada daerah penerimaan Ho a = 0,05.

Gambar 1. Diagram batang nilai rata-rata tugas siswa kelas eksperimen
Dari rerata kelas nilai tugas 1, tugas 2, tugas 3, dan tugas 4 ternyata mengalami peningkatan hingga mencapai rerata 91. Hal ini menunjukkan siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa. Motivasi yang tinggi didukung dari hasil angket yang menunjukkan sebagian besar siswa menyukai pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio siswa. Selain itu juga panduan refleksi pengalaman belajar yang dilakukan siswa setelah menyelesaikan tugas juga mendorong motivasi siswa untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada tugas yang telah mereka kerjakan.
Data ketuntasan belajar kelas eksperimen diperoleh dari nilai postes dan nilai portofolio. Nilai postes diberikan bobot 75% sedangkan rata-rata nilai portofolio diberikan bobot 25%. Penilaian kelas eksperimen menggunakan kriteria tertentu (Sudjana, 2005: 3). Ketuntasan belajar kelas eksperimen yaitu 100% tuntas, sedangkan kelas kontrol yaitu 82%. Jika merunut pada standar ketuntasan belajar dari Depdiknas (2004), pemahaman konsep sistem koordinasi pada kedua kelas eksperimen telah melebihi standar minimal ketuntasan secara klasikal yaitu 85%, sedangkan kelas kontrol masih belum mencapai standar ketuntasan tersebut.
Refleksi pengalaman belajar ini sesungguhnya adalah umpan balik bagi siswa yang bertujuan untuk untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mempunyai kelebihan karena dari dokumentasi portofolio maka siswa dapat mengetahui kemajuan belajar mereka sendiri. Dokumentasi portofolio disertai catatan kekurangan terhadap tugas-tugas siswa sangatlah membantu siswa merefleksikan apa yang telah mereka pelajari. Cartono dan Sutarto (2006: 93) menyatakan bahwa siswa dapat merefleksikan tentang proses berpikir mereka sendiri. Dari isian format refleksi pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa setelah pembelajaran diperoleh pendapat siswa mengenai persiapan siswa dalam pembelajaran, pengaruh pemberian tugas, kekurangan dan kelebihan tugas siswa, kesungguhan siswa dalam belajar, penambahan wawasan siswa, dan upaya siswa setelah pembelajaran.
Berdasarkan hasil angket diperoleh data tanggapan siswa terhadap mata pelajaran Fisika dan konsep sistem koordinasi, tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio, dan tanggapan siswa terhadap proses penyusunan portofolio. Rekapitulasi tanggapan siswa terhadap mata pelajaran Fisika dan konsep sistem koordinasi, tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dan tanggapan siswa terhadap proses penyusunan portofolio dapat di lihat pada Tabel 4.
Berdasarkan data tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa tanggapan siswa secara umum terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa yaitu positif. Tanggapan guru diperoleh dari hasil wawancara. Guru memberikan tanggapan yang positif terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio. Kesan guru setelah pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio yaitu sangat baik karena dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap penguasaan konsep sistem koordinasi. Tanggapan orang tua siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio juga positif karena mereka berpendapat bahwa pembelajaran tersebut meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.

Tabel 4. Rekapitulasi tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa

No indikator Nomor
Pertanyaan Rata-rata
Skor Skor
Netral
1. Tanggapan siswa terhadap
mata pelajaran Fisika dan
konsep sistem koordinasi 1,2 dan 4 2,479 2
2. Tanggapan siswa terhadap
proses penyusunan portofolio 3,6,8,12 dan 13 1,796 1,25
3. Tanggapan siswa terhadap
manfaat pembelajaran dengan
memanfaatkan portofolio siswa 7,5,9,10,11 dan 14 1,973 1,667
Rata-rata Skor 2 083 1,639
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
• Pertama, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep sistem koordinasi. Secara umum nilai rata-rata postes dan rata-rata gain menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol (rata-rata postes kelas eksperimen 77 dan kelas kontrol 69,23; rata-rata gain kelas eksperimen 0,68 dan kelas kontrol 0,58). Ketuntasan belajar dari kelas eksperimen 100% dan kelas kontrol 82%.
• Kedua, refleksi pengalaman belajar yang dilakukan setelah proses pembelajaran ternyata dapat menjadi umpan balik bagi siswa dalam memperbaiki karya mereka.
• Ketiga, kendala yang ditemui dalam pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio berasal dari siswa, guru dan orang tua siswa. Kendala yang berasal dari siswa yaitu siswa merasa tenggang waktu yang diberikan untuk menyusun portofolio masih kurang memadai. Siswa juga berpendapat mereka kesulitan untuk mencari sumber belajar terutama buku-buku penunjang yang relevan. Kendala yang berasal dari guru yaitu guru merasa tenggang waktu yang dibutuhkan untuk penugasan kepada siswa dirasa masih kurang memadai. Kendala yang berasal dari orang tua siswa yaitu bagi orang tua yang kurang mampu mereka merasa keberatan dengan biaya internet yang cukup mahal.
• Keempat, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mendapatkan tanggapan positif dari siswa, guru, dan orang tua siswa.

2. Saran
Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian ini yaitu :
• Pertama, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dapat dijadikan salah satu alternatif bagi guru dalam pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan menyempurnakan keterbatasan keterbatasan dalam penelitian ini.
• Kedua, pihak sekolah hendaknya lebih meningkatkan kerjasama dengan orang tua siswa terutama dalam pengembangan sumber-sumber belajar di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, D. (2002). Model pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Genesindo.
Cartono dan Sutarto, T. (2006). Penilaian Hasil Belajar Berbasis Standar. Bandung: Penerbit Prisma Press.
Dahar, R.W. (1989). Teori -teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. (2004). Sistem Penilaian Kurikulum 2004.
Desforges, C. (1995). An Introduction to Teaching: Psychological Perspectives. New York : Balckwell.
Elango, S. (2005). Portfolio as a Learning Tool: Students' Perspective. Tersedia: http: www. annals. edu.sg/pdf/34/vol No 820509/V34N8 psi 1.pdf (18 Januari 2006).
Fraenkel, R.J, & Wallen, N.C. (1990). How To Design and Evaluate Research in Education. London: Mc Graw Hill, inc.
ibayati, Y. (2002). Analisis Strategi Mengajar pada Topik Sistem Saraf di SMU. Tesis di PPS UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Kurniati, T. (2001). Pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses sains untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa: Model Pembelajaran Sistem Saraf untuk Siswa SMU Kelas 2. Tesis pada PPS UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Rustaman, N., Dirjosoemanto, S., Adi Yudianto,S., Achmad,Y., Subekti, R., Rochintaniawati, D., Nurjhaini, M. (2003). Strategi Belajar Mengajar Fisika. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMiPA UPi.
Ruseffendi, E.T. (2001). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: iKiP Bandung Press.
Stiggins, R.J. (1994). Student-Centered Classroom Assesment. New York: Macmilan College Publishing Company.
Sudjana, N. (1987). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sudjana, N. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudjiono, A. (1996). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supranata, S. dan Hatta, M. (2004). Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wijayanti, H. (2001). Hubungan antara Hasil Belajar dengan Kemampuan Berpikir kritis siswa SMU Negeri 3 Bandung pada Sistem Koordinasi. Skripsi Pendidikan Fisika FPMIPA UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Winkel, W.S. (2007). Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abad

LEMBAR KERJA SISWA

LEMBAR KERJA SISWA
(KAJIAN BERFIKIR SECARA RASIONAL)
Oleh : Iin Yuristin N.,S.Pd
Guru Fisika SMA Negeri I Patianrowo

Berpikir tidak dapat dipisahkan dari isi materi pelajaran, karena kenyataannya berpikir merupakan sebuah cara untuk mempelajari isi materi pelajaran. Dalam suatu pembelajaran, siswa sebaiknya diajarkan untuk berpikir logis, menganalisis dan membandingkan, serta mempertanyakan dan mengevaluasi (Raths et al, 1967). Ketika membaca suatu teks, siswa harus dilatih untuk membaca secara kritis. Membaca secara kritis didefinisikan sebagai belajar mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan isi suatu bacaan, bukan sekedar menghafal fakta atau informasi yang dicantumkan dalam suatu bacaan. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan membaca kritis adalah dengan menyediakan bahan bacaan seperti koran, majalah, dan artikel di dalam kelas (Carr, 1990). Dengan membaca media tersebut, siswa akan dilatih untuk menjadi pembaca yang mempertanyakan isi dari bacaan. Siswa akan membangun argument-argumennyanya sendiri untuk kemudian disampaikan dalam diskusi kelas
Apa yang disajikan dalam suatu rangkuman materi pada buku LKS? Sebagian besar buku LKS hanya menyajikan rangkuman materi yang berupa poin-poin penting saja, bukan suatu bacaan yang lengkap. Dengan model ini, siswa diibaratkan hanya dijejali dengan fakta dan informasi saja, tanpa diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Model rangkuman seperti ini mungkin saja baik bagi siswa yang sudah terlebih dulu membaca materi pelajaran yang ada di dalam buku teks. Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa banyak sekolah - terutama sekolah negeri - yang menjadikan LKS ini sebagai satu-satunya buku pelajaran. Dengan demikian, melalui bacaan yang berupa rangkuman materi tersebut dalam LKS tersebut, kesempatan siswa untuk membaca kritis tidak tersedia. Bacaan-bacaan seperti itu hanya mengajarkan kepada siswa untuk menghafalkan fakta-fakta yang ada tanpa memberikan kesempatan untuk memikirkannya lebih jauh. Kondisi ini mirip dengan apa yang dituliskan oleh Raths dkk pada tahun 1967 yang menyatakan bahwa “…memorizati on, drill, homework, and the quiet classroom were rewarded, while “…inquiry, reflection and the consideration of alternatives were frowned upon” (Carr, 1990). Kemudian bagaimana dengan model soal pilihan ganda yang terdapat dalam buku LKS tersebut? Pada tahun 1991 badan American Education Reform menyatakan bahwa soal-soal pilihan ganda tidak dapat digunakan untuk mnguji kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan problem solving, kreativitas, dan sikap inisiatif. Jenis soal pilihan ganda hanya dapat melatih kemampuan berpikir tingkat rendah seperti menghafal (Lynn, et al, 1991).
Buku pelajaran bagi guru dan siswa memiliki peran yang sangat penting. Keberadaan buku pelajaran idealnya disediakan sekolah atau bahkan telah tersedia di perpustakaan sekolah. Seiring gonta-gantinya kurikulum, buku pelajaranpun ikut berganti. Perubahan kurikulum membuat tenaga pendidik mengalami kebingungan untuk melakukan penyesuaian. Berbeda dengan penerbit buku, ganti kurikulum merupakan lahan baru untuk mencetak buku dan mengembangkan sayap bisnisnya..
Selama ini penerbit memang mencari terobosan penjualan ke lingkup sekolah-sekolah. Yang namanya bisnis tentu saja mana yang lebih menguntungkan, itulah yang dijalani. Untuk dapat lolos masuk ke suatu sekolah, biasanya se-izin kepala sekolah atau guru bidang studi yang terkait. Memang diakui guru sering mendapat potongan dari harga jual yang sesungguhnya. Hal ini sangat wajar mengingat pelaku bisnis memang harus saling menguntungkan.Yang tidak wajar adalah baik guru maupun penerbit melaksanakan pemaksaan pembelian pada anak. Sementara keuntungan dinikmati oleh para gurunya. Perilaku ini jelas harus ditolak. Pertanyaannya akan berbeda bila potongan harga tersebut justru diberikan pada siswa sehingga harga belinya bertambah murah. Pelarangan jual buku di sekolah memang tidak boleh digebyah uyah. Cara-cara sekolah langsung droping buku pada siswa, guru langsung menjual harga mahal hanya demi keuntungan sekolah dan pribadi pantas disesalkan.Akibat perilaku bisnis yang hanya menekankan aspek keuntungan inilah yang barangkali alasan pemerintah dan pejabat di daerah melarang penjualan buku di sekolah. Yang paling aman adalah bisnis buku di sekolah dilarang, namun kebutuhan untuk anak didik dipenuhi pemerintah dan sekolah. Bila hal ini terjadi sangat diyakini bisnis buku di sekolah tidak akan laku. Persoalan yang ada di sekolah, buku pelajaran belum ada, sementara kurikulum telah berganti dan harus menyesuaikan diri. Betapa sedihnya guru, bila dalam pembelajaran siswa-siswinya tidak memiliki buku pegangan. Yang ironis lagi gurunya pun belum memiliki buku sumber yang seharusnya. Ini memprihatinkan bukan?
.Meski penggunaan buku LKS di sekolah-sekolah tidak pernah secara eksplisit diwajibkan, karena kebanyakan guru memberi tugas yang pengerjaannya menggunakan LKS, mau tidak mau siswa terpaksa membelinya.Penggunaan buku LKS di sekolah-sekolah bersimaharajalela sejak tahun 90-an. Lembar-lembar pendukung kegiatan pembelajaran berisi hasil pengamatan siswa praktikan di laboratorium yang semula hanya dipergunakan untuk pelajaran tertentu seperti Biologi, Fisika atau Kimia itu -entah oleh "guru kreatif" mana- ruang penggunaannya direntangluaskan sedemikian rupa hingga mencakup hampir semua mata pelajaran di sekolah. Dari tingkat SD hingga SLTA, dan formatnya diubah dalam wujud buku. Kesuksesan perentangluasan ruang penggunaan dan perubahan format LKS itu dalam perkembangannya dengan cepat dan sigap ditangkap oleh para pemodal, pengusaha percetakan, dan penerbitan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Alhasil, dengan melibatkan guru sebagai penyusun materi, serta-merta LKS diproduksi secara besar-besaran dan pendistribusiannya pun diorganisasi dengan menggunakan sistem dan mekanisme pemasaran layaknya produk dagang lainnya. Peran penting guru, baik sebagai penyusun materi maupun sebagai pengguna LKS, disadari benar oleh penerbit. Oleh karena itu, untuk "memaksa" guru taat dan patuh menjalankan perannya sesuai yang dikehendaki, penerbit merangkul Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai rekanan dalam pembuatan, penggunaan sekaligus pendistribusian LKS.Logika yang dipakai, guru, pengurus MGMP, ataupun anggota, bila diserahi tugas oleh kordinator MGMP -biasanya dijabat oleh kepala sekolah- tentu akan merasa pekewuh bahkan "takut" sehingga bergegas melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Layaknya hukum yang berlaku di dunia perdagangan, pelibatan pihak lain dalam menyukseskan usaha amatlah lazim bila diberi bagian hasil keuntungan. Terniscayakan demikian halnya dengan guru anggota, pengurus, bahkan koordinator MGMP.
Kreativitas Guru
Buku memang tetap menjadi sumber utama pengajaran. Guru harus pandai mendesain dan mengembangkan materi ajar sesuai dengan kurikulum. Berlakunya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) diharapkan guru semakin kreatif. Namun jangan sampai saking kreatifnya keluar dari koridor bahan utama dan berdampak murid gagal ujian sebab menyimpang dari kurikulum.Menurut Data Balitbang Depdiknas (2004) berkaitan dengan analisis biaya satuan pendidikan (BSP) untuk pendidikan dasar dan menengah, kewajiban orangtua peserta didik untuk sekolah harus mengeluarkan biaya: (1) buku dan alat tulis sekolah (2) pakaian dan perlengkapan sekolah (3) akomodasi (4) transportasi (5) konsumsi (6) kesehatan (7) karyawisata (8) uang saku (9) kurus/les (10) iuran sekolah dan (11) foregone earing.
Begitu beratnya tanggung jawab orangtua peserta didik setiap tahun ajaran baru dalam menyekolahkan anaknya. Kewajiban membeli buku pelajaran baru merupakan urutan ketiga yang memberatkan orangtua, berdasarkan penelitian ICW (Indonesia Coruption Watch) tahun 2005. Padahal yang namanya sekolah untuk mengejar ketertinggalan (semakin maju) tidak pernah dari kebutuhan buku pelajaran yang bermutu. Namun dapatkah buku pelajaran itu mampu dibeli tanpa pewarisan kepada peserta didik berikutnya? Dilematis buku pelajaran tidak lepas dari pergantian kurikulum. Pemerintah seakan tidak konsisten dengan kebijakan yang diambil. Berlakunya KBK tahun 2004 kemudian direvisi dengan berlakunya KTSP 2006 seolah mementahkan Peraturan Mendiknas Nomor 11 tahun 2005 tentang buku tekspelajaran Dalam PerMen tersebut ada dua hal yang penting. Pertama buku teks pelajaran berlaku lima tahun. Kedua sekolah dilarang menjual buku pelajaran. Dilihat dari konteksnya seolah-olah melindungi dan memperjuangkan kepentingan orangtua peserta didik. Namun realitanya? Ganti kurikulum berarti ganti buku pegangan! Dalam aturan itu pemerintah hanya sebatas memindahkan tempat jual beli buku dari sekolah ke toko buku/pasar. Namun bila diamati birokrasi justru menikmati keuntungan lebih besar dengan praktik bisnis buku pelajaran. Penerbit yang banyak menerima rekomendasi akan lebih besar memproduksi dan menekan sekolah untuk menerima, menggunakan dan menjual buku pelajaran.
Menyimak permasalahan buku di sekolah, kiranya guru harus menjawab
dengan kreativitas. Untuk mencukupi kebutuhan siswa guru dapat mendesain sumber belajar entah dalam wujud ringkasan materi, buku pegangan, modul atau bahkan lembaran kerja siswa (LKS) dengan tidak berlandaskan pada mentalitas bisnis. Hal ini akan menguntungkan baik siswa maupun guru. Bagi guru, kreativitas bagian dari pengembangn profesinya yang akan berguna pada masing-masing pribadi guru. Selain itu, bagi siswa akan tercukupi kebutuhannya tentang ketersediaan bahan-bahan pelajaran.
Yang menjadi pertanyaan, dari jutaan guru di Tanah Air ini yang telah berbuat demikian berapa persen ? Andaikan telah membuat buku dan yang sejenisnya, benarkah mereka tidak mencari untung dan semata-mata hanya untuk membantu kebutuhan siswa ?

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PENDEKATAN TIPE STAD DI SMK MUHAMMADIYAH I NGANJUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PENDEKATAN TIPE STAD DI SMK MUHAMMADIYAH I NGANJUK
TAHUN PELAJARAN 2007-2008


Laporan Peneitian Tindakan Kelas












OLEH :
MUCHAMMAD SOFFA,S.Pd.,M.M
Nip. 510 211 024












MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
SMK MUHAMMADIYAH I NGANJUK
Jl. Citarum No. 22 – 24 Nganjuk

2008
HALAMAN PENGESAHAN




Nama : MUCHAMMAD SOFFA,S.Pd.,M.M
NIP : 510 211 024
JABATAN/UNIT KERJA : GURU/ SMK MUHAMMADIYAH I NGANJUK


Penulisan Penelitian Tindakan kelas /PTK

Disahkan Pada tanggal :


Ketua PGRI Kepala SMK
Kabupaten Nganjuk Muhammadiyah I Nganjuk


Drs. RASID ANGGARA, MM Drs SUHARDI
NPA. 130 8010 745 NIP. 131 833 473


Mengetahui
Kepala Dinas Dikpora Daerah
Kabupaten Nganjuk


Drs. H. A. BUDIONO, M.Ed
NIP 130 898 936

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan syukur kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan taufiq serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya tulis ilmiah dengan judul: “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Tipe STAD di SMK Muhammadiyah I Nganjuk Tahun Pelajaran 2008 - 2009

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kepala SMK Muhammadiyah I Nganjuk yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi kegiatan penelitan ini,
2. Guru SMK Muhammadiyah I Nganjuk yang telah memberikan dukungan dan motivasi kegiatan penelitian ini,
3. Semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil sehingga penelitian tindakan kelas ini dapat terselesaikan.
Dalam penulisan laporan penelitan ini, masih banyak terdapat kekurangan, oleh Karena itu penulis sangat berharap saran dari pembaca demi perbaikan penelitian ini.
Semoga penelitian ini dapat berguna bagi kita semua khususnya praktisi pendidikan.


Nganjuk, ………2008




Penulis

ABSTRAK



Soffa,Muchammad.2008. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Tipe STAD di SMK Muhammadiyah I Nganjuk Tahun Pelajaran 2008 – 2009. Nip. 510211024



Telah dilaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di SMK Muhammadiyah I Ngsnjuk Tujuan dilakukan penelitian karena rendahnya hasil proses belajar matematika khusunya kelas X-L siswa SMK Muhammadiyah I Nganjuk



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..iii
ABSTRAK……………………………………………………………………….iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..v

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masala…………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..2
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………..2
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………2

BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar………… ………………………………..…………..4
B. Pengertian Belajar Matematika ……………………………..…………..9
C. Tinjauan Model Pembelajaran Kooperatif ………………….………….11
D. Hipotesis ……….……………………………………………..………...15

BAB III METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian ……………………………………………….……..17
B. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………… 17
C. Rancangan Peneltian …………………………………………….……..17
D. Instrumen Penelitian ……………………………………………………19
E. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ……………………………….19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil…………………………………………………..………………..41
a. Reflrksi Siklus I
b. Refleksi Siklus II
B. Pembahasan…………………………………………………………….28
a. Hasil Tes Tindakan Siklus I
b. Hasil Tes Tindakan Siklus I
c. Hasil Prosentase Keaktifan Siswa
d. Hasil Analisis Tanggapan Siswa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………..42
B. Saran……………………………………………………………………42
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
2. Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
3. Lampiran 3 Tes Formatif
4. Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa
5. Lampiran 5 Post Test
6. Lampiran 6 Lembar Penilaian Tes Unjuk Kerja : Kegiatan Percobaan
7. Lampiran 7 Lembar Observasi Dan Penilaian Kegiatan Diskusi Dan Presentasi Siswa












BAB I
PENDAHULUAN




A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang dapat mempercepat terjadinya perubahan dalam masyarakat dan mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan yang lain. Penguasaan matematika adalah sangat penting karena penguasaan-penguasaan tersebut akan menjadi sasaran yang ampuh untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi demikian pula untuk memperoleh lapangan kerja. Mengingat pentingnya peranan matematika tersebut, maka hasil belajar matematika di sekolah perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait.
Sebagai tenaga pengajar atau pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar, maka guru sebagai pendidik memegang peranan penting dalam menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswanya. Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pendidik khususnya di bidang matematika adalah bagaimana mengajarkan matematika dengan baik agar tujuan pengajaran dapat dicapai semaksimal mungkin. Dalam hal ini penguasaan materi dan cara pemilihan metode atau strategi belajar yang sesuai sangat menentukan tercapainya tujuan pengajaran.
Pemilihan dan penguasaan strategi mengajar yang tepat serta penguasaan keterampilan dasar mengajar merupakan suatu alternatif dalam usaha meningkatkan mutu pengajaran. Terdapat beberapa macam keterampilan dasar mengajar yang telah dikenal, diantaranya yang menjadi perhatian penulis untuk menerapkan penelitian ini adalah keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan yang merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD.
Banyak model yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas, namun pemakaian metode yang hanya berfokus pada satu metode saja dapat membawa siswa pada kejenuhan belajar dan kebosanan. Dalam hal ini dapat mengakibatkan hasil belajar siswa SMK Muhammadiyah I Nngajuk menjadi rendah. Oleh karena itu hasil belajar matematika tersebut perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan.
Disadari bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menerima pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Untuk meminimalkan perbedaaan tersebut, maka dibentuk secara berkelompok agar siswa dapat saling mengisi, saling melengkapi, serta bekerja sama dalam menyelesaikan soal-soal atau tugas yang diberikan oleh guru. Dengan demikian tujuan pengajaran dapat tercapai dan hasil belajar siswapun dapat ditingkatkan.
Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD memungkinkan guru dapat memberikan perhatian terhadap siswa. Hubungan yang lebih akrab akan terjadi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Ada kalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri, adapula siswa yang lebih mudah belajar karena harus mengajari atau melatih temannya sendiri. Dalam hal ini pengajaran kooperatif dengan pendekatan STAD dalam pelaksanaannya mengacu kepada belajar kelompok siswa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan memungkinkan siswa belajar lebih aktif, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, berkembangnya daya kreatif, serta dapat memenuhi kebutuhan siswa secara optimal.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
a. Hasil belajar matematika siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk masih tergolong sedang.
b. Adanya perbedaan daya tangkap masing-masing siswa terhadap pelajaran yang diterangkan guru.
c. Siswa cenderung menginginkan kerja sama dalam suatu kelompok kecil untuk menyelesaikan soal-soal matematika tanpa banyak bantuan dari guru.
Untuk memecahkan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka model pembelajaran yang digunakan yaitu pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD. Selama kegiatan penelitian ini berlangsung siswa dikelompokan pada saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah
1. Untuk memacu keaktifan siswa dalam proses pembelajaran di kelas dengan belajar secara kooperatif dengan pendekatan STAD dan
2. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif

E. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
1. Siswa terampil menyelesaikan soal, lebih memahami dan mendalami materi pelajaran yang diberikan di sekolah
2. Siswa lebih aktif belajar, bersikap positif dan bertanggung jawab serta senang belajar matematika.

















BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A. Pengertian Belajar

Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang yang dilandasi dengan adanya perubahan tingkah laku yang lebih baik. Menurut Oemar Hamalik (1983:21) mengemukakan bahwa: “Belajar merupakan suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan”.
Tingkah laku yang baru yang dimaksud ialah dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru, perubahan dan sikap, kebiasaan-kebiasaan, keterampilan, kesanggupan menghargai, perkembangan sifat-sifat sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani dan lain sebagainya.
Menurut Nana Sudjana (1989:28) mengemukakan bahwa: “Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang melalui proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu”.
Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dengan berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilan, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya, dan lain-lain yang merupakan aspek yang ada pada individu. Jadi belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperlihatkan oleh individu dalam bentuk tindakan sebagai adanya interaksi dengan lingkungannya. Seorang tidak dapat dikatakan belajar tanpa adanya tindakan.

B. Pengertian Belajar Matematika
Belajar matematika merupakan proses yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan hasil baru dengan menggunakan simbol-simbol dalam struktur matematika sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Namun belajar matematika tidak hanya dilihat dan diukur dari segi hasil yang dicapai, tetapi juga dilihat dan diukur dari segi proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian siswa mempunyai kemampuan berpikir secara logika, kritis, cermat, dan objektif dalam proses belajar.
Kemampuan berpikir logis, minat terhadap matematika dan sikap terhadap matematika berkorelasi secara signifikan dengan hasil belajarnya.
Menurut Howard Kingsly (dalam Nana Sudjana 1989:45) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Pendapat lain dikemukakan oleh H. Sahabuddin (1994:13) yang mengatakan bahawa:
“Keberhasilan belajar seseorang, selain dipengaruhi oleh kemampuan intelektual dan lingkungan belajarnya, juga dipengaruhi oleh cita-cita yang ingin dicapai yang berlaku sebagai sumber dorongan atau motivasi belajar. Makna kuat seseorang berpegang pada cita-citanya, makin gigih ia berusaha melalui belajar untuk mencapai cita-citanya”
Sedangkan Herman Hudoyo (1990:39) mengemukakan pendapatnya tentang hasil belajar sebagai berikut:
“Hasil belajar dan proses belajar kedua-duanya penting, di dalam belajar ini, terjadi proses berpikir. Seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental, bukan kegiatan motorik walaupun kegiatan motorik ini dapat pula bersama-sama dengan kegiatan mental tersebut, dalam mental itu orang menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh sebagai pengertian. Karena itu menjadi memahami dan menguasai hubungan tersebut sehingga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang dipelajari, inilah merupakan hasil belajar”.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, berarti bahwa hasil belajar matematika dicapai setelah hasil belajar sebagai akibat dari perlakuan dalam kegiatan belajar. Pengusaan materi yang akan diajarkan bagi seorang pengajar belumlah cukup untuk menentukan hasil belajar bagi siswa, tapi juga harus didukung dengan adanya interaksi multi arah antara pengajar dengan siswa yang diajar, dan antara siswa dengan siswa, sehingga terjadi dua kegiatan yang saling mempengaruhi yang menentukan hasil belajar siswa.
Jadi hasil belajar matematika adalah taraf kemampuan aktual yang bersifat terukur, penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, interpretasi yang dicapai oleh siswa dan apa yang dihadapi oleh siswa di sekolah.

C. Tinjauan Model Pembelajaran Kooperatif
Guru dapat meningkatkan proses belajar mengajar berikutnya dengan adanya umpan balik yang diperoleh melalui evaluasi hasil belajar. Dengan adanya umpan balik yang diperoleh melalui evaluasi hasil belajar, guru dapat memberikan bimbingan dan motivasi yang tepat bagi siswa. Sehubungan dengan itu, guru dapat membuat catatan-catatan atau dokumentasi yang memuat kemajuan atau kemunduran siswa, perilaku sehari-hari siswa, problem yang dihadapi siswa dan cara pemecahannya dan sebagainya yang dianggap perlu. Dengan demikian setiap proses belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa, disamping itu juga diukur segi prosesnya.
Pembelajaran Kooperatif, salah satu model pembelajaran yang saat ini mendapatkan perhatian karena mengingat jangkauannya bukan hanya membantu siswa untuk belajar dari segi akademik namun juga belajar dari segi keterampilan dan juga melatih siswa untuk tujuan-tujuan hubungan sosial dimana model pebelajaran ini memfokuskan pada pengaruh-pengaruh pengajaran seperti pembelajaran akademik khususnya menumbuhkan penerimaan antar kelompok serta keterampilan sosial antar kelompok.
Seperti yang dikemukakan oleh Muslimin Ibrahim (2000:2) bahwa:
“Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang memfokuskan pada pengaruh-pengaruh pengajaran seperti pembelajaran akademik, khususnya menumbuhkan penerimaan antar kelompok serta keterampilan sosial antar kelompok”
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran ini, seperti yang dikemukakan oleh Muslimin Ibrahim (2000:6) bahwa ada 7 unsur-unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
(1) Siswa dalam kelompok haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”
(2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
(3) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
(4) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
(5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
(6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
(7) Siswa akan diminta untuk mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif”
Dari uraian tersebut di atas, maka hal lain yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran ini adalah bahwa pada pembelajaran kooperatif terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan yaitu: pendekatan STAD, Jigsaw, Investigasi Kelompok dan pendekatan Struktural. Namun dalam penelitian ini penulis mencoba menerapkan pendekatan STAD (Student Team Achievement Division), dimana dalam pendekatan ini, guru senantiasa membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4–5 orang dalam satu kelompok untuk saling berinteraksi satu sama lain.
Meskipun pendekatan ini amat sederhana, namun sangat memacu siswa untuk menuntaskan materi pelajarannya. Hal ini disebabkan mereka akan saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran, baik itu melalui tutorial, kuis, atau melakukan diskusi. Dan yang amat penting memacu motivasi siswa untuk senantiasa mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan serius karena secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis.
Dari kuis tersebut, siswa diberi skor dan diumumkan di depan siswa untuk mengkriteriakan tim-tim yang memperoleh skor tertinggi atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis itu.
Tugas perencanaan penting lainnya untuk model pembelajaran kooperatif ini adalah pembentukan kelompok siswa. Untuk lebih mengaktifkan kegiatan pembelajaran kooperatif ini, hal yang harus diperhatikan adalah dasar keanggotaan kelompok tersebut adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Muslimin Ibrahim (2000:31) bahwa:
“Bila memungkinkan anggota kelompok bersal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda. Selain itu kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah”.
Dari pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teknik yang digunakan dalam pembagian anggota kelompok dalam penelitian ini, siswa dikelompokkan dilihat dari segi kemampuan siswa dalam prestasi belajarnya apakah itu tinggi, sedang, dan rendah, juga diperhatikan ras, budaya, suku, dan jenis kelamin

D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoretis diatas maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah melalui metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD maka hasil belajar matematika siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk dapat ditingkatkan.














BAB III
METODE PENELITIAN


A. Sasaran Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk pada cawu II tahun Pelajaran 2007/2008 dengan jumlah siswa 31 orang.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X-L siswa SMK Muhammadiyah I Nganjuk, di mana peneliti mengajar. Waktu penelitian 2 bulan pada semester genap yaitu bulan Pebruari – Maret 2008 ( Jadwal terlampir}
C. Rancangan Peneltian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan cara pelaksanaannya meliputi 4 tahap, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Rancangan penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus: (1) Siklus pertama berlangsung selama 7 kali tatap muka dan (2) Siklus kedua berlangsung selama 9 kali tatap muka
Sesuai dengan hakekat penelitian tindakan kelas, siklus kedua merupakan perbaikan siklus pertama. Selanjutnya secara terperinci penelitian tindakan kelas ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Siklus I
Siklus pertama berlangsung selama 7 kali tatap muka dan dalam 4 ahap sesuai dengan kriteria Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yaitu tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.
1. Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan yang akan dilaksanakan adalah:
a.Telaah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMK kelas X dan membuat Skenario Pembelajaran dengan materi:
- Persamaan kuadrat
- Pertdaksamaan kuadrat
- Akar-akar persamaan kuadrat berikut sifat-sifatnya
b.Membuat skenario pengajaran untuk setiap pertemuan.
a) Membuat lembar observasi untuk mengamati dan mengidentifikasi segala yang terjadi selama proses belajar mengajar di kelas, antara lain: Daftar absensi dan keaktifan/ kesungguhan siswa di dalam proses belajar mengajar.
b) Membuat alat evaluasi untuk melihat kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berdasarkan materi yang diberikan.
2. Tahap Tindakan
Tahap tindakan ini adalah tindakan yang akan dilaksanakan setiap tatap muka. Adapun langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut:
a. Pada awal tatap muka, guru menjelaskan materi sesuai dengan rencana pengajaran pada pertemuan yang bersangkutan secara klasikal  15 menit beserta contoh-contoh soal dan melibatkan siswa untuk menyelesaikan di papan tulis.
b. Siswa diarahkan untuk membentuk kelompok kecil yang pembagiannya telah disepakati bersama. Dengan kelompok yang dibentuk tersebut anggotanya heterogen (ada yang pintar, sedang, dan kurang) yang jumlahnya 4 orang tiap kelompok.
c. Siswa diberi tugas atau soal latihan yang sama dan diselesaikan secara berkelompok oleh masing-masing kelompok. Setelah itu siswa diberi soal yang identik untuk diselesaikan secara perorangan atau individual.
d. Selama proses belajar berlangsung, setiap kelompok tetap diawasi, dikontrol, dan diarahkan, serta diberi bimbingan secara langsung pada kelompok yang mengalami kesulitan, ataupun yang bertanya mengerjakan soal yang diberikan.
e. Lembar jawaban dari tiap kelompok dan lembar jawaban individu diperiksa kemudian dikembalikan untuk selanjutnya menjadi bahan diskusi untuk masing-masing kelompok dan hasil ini merupakan pedoman bagi guru dalam menyusun rencana tindakan pada siklus berikutnya.
3. Tahap Observasi
Observasi ini dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Mencatat setiap hal yang dialami oleh siswa, situasi dan kondisi belajar siswa berdasarkan lembar observasi yang sudah dibuat dalam hal ini mengenai kehadiran siswa, perhatian, dan keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar.
4. Tahap Refleksi
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap refleksi ini adalah:
a. Merefleksi setiap hal yang diperoleh melalui lembar observasi, yakni k eaktifan siswa dalam menyelesaikan tugas secara kelompok, dan tugas individu.
b. Menilai dan mempelajari perkembangan hasil pekerjaan siswa dalam bentuk kelompok dan individu yang diberikan selama siklus I serta nilai terakhir siklus I.
c. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat refleksi atau t anggapan tertulis ataupun saran-saran perbaikan atas:
- metode pembelajaran yang diberikan
- kegiatan belajar mengajar yang mereka alami
Untuk selanjutnya dibuat rencana perbaikan dan penyempurnaan siklus I pada siklus berikutnya.

2. Siklus II
Pada dasarnya hal-hal yang dilakukan pada siklus II ini adalah mengulang tahap-tahap yang dilakukan pada siklus sebelumnya. Dilakukan sejumlah rencana baru untuk memperbaiki atau merancang tindakan baru sesuai dengan pengalaman dan hasil refleksi yang diperoleh pada siklus I. Siklus II ini dilakukan selama 9 kali tatap muka yang pelaksanaannya meliputi:
1. Tahap Perencanaan
a. Merancang siklus II ini sama dengan siklus I dengan materi yang sama untuk memecahkan masalah siklus I
b. Dari hasil refleksi serta tanggapan yang diberikan siswa pada siklus I guru menyusun rencana baru untuk dibuat tindakannya antara lain: mengawasi siswa lebih tegas dan memberikan teguran bagi siswa yang kurang disiplin.
c. Memberikan motivasi agar siswa dapat lebih bergairah dan senang belajar matematika baik secara kelompok maupun secara individual.
2.Tahap Tindakan
Tindakan siklus II ini adalah melanjutkan langkah-langkah yang telah dilakukan pada siklus I dan beberapa perbaikan yang dianggap perlu dan dapat memecahkan masalah yang ditemukan pada siklus sebelumnya.
Adapun tindakan yang dimaksud yaitu:
a. Melanjutkan tindakan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD dalam bentuk kelompok.
b. Kelompok yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas atau soal, diberikan bimbingan secara langsung dan sesekali diarahkan secara klasikal. Demikian pula halnya dengan tugas yang dikerjakan secara perorangan.
c. Lembar jawaban dari masing-masing kelompok dan individu diperiksa dan dikembalikan untuk menjadi bahan diskusi. Jawaban yang kurang tepat dibetulkan oleh guru, dan jika ada soal yang dianggap penjelasan lebih lanjut, maka pada awal pertemuan berikutnya secara klasikal dibahas penyelesaian soal tersebut.
3. Tahap Observasi
Secara umum tahap observasi siklus II ini adalah melanjutkan kegiatan pada siklus I yang dilaksanakan pada saat proses belajar mengajar. Observasi yang dilakukan lebih ditingkatkan kecermatannya dan diupayakan secara maksimal agar siswa lebih berpartisipasi secara aktif dalam mengikuti pelajaran serta termotivasi untuk menyelesaikan soal secara kelompok.

D. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: data mengenai perubahan sikap, kehadiran, dan keaktifan siswa di dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar diambil dengan cara pengamatan atau observasi dan data tentang hasil belajar matematika siswa diambil dari hasil belajar matematika siswa setelah belajar kelompok serta hasil tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II.
Data yang terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif. Untuk analisis secara kuantitatif digunakan Statistik deskriptif, untuk mendeskripsikan karakteristik dari subjek penelitian sedangkan untuk analisis data secara kualitatif digunakan dengan cara pengelompokan berdasarkan data kualitatif.
Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan kategori hasil belajar matematika siswa adalah skala sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurkancara (1986:80) yaitu sebagai berikut: 0% - 34% dikategorikan sedang, 65% - 84% dikategorikan tinggi, 85% - 100% dikategorikan sangat tinggi.



















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil

Refleksi Terhadap Pelaksanaan Tindakan dalam Proses Belajar Mengajar Matematika
1. Refleksi Siklus I
Pada saat pembagian anggota kelompok, pada umumnya siswa cenderung memilih teman akrabnya atau temannya yang dianggap lebih pintar. Namun untuk menghindari pendiskriminasian terhadap siswa yang lebih pintar, serta melihat kondisi tempat duduk yang agak padat dengan ruangan yang tidak luas, maka guru bertindak mengelompokkan siswa berdasarkan pedoman pengelompokan dalam pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD, yakni pengelompok didasarkan atas perbedaan jenis kelamin, agama dan tingkat prestasi belajar siswa, serta kalau memungkinkan terdiri dari beberapa suku. Hal ini dilihat dari biodata yang dikumpulkan dari tiap siswa. Dengan ketentuan jumlah siswa tiap kelompok terdiri dari 4 orang atau 5 orang sehingga terbentuk 7 kelompok dari 31 orang siswa.
Pada awalnya ada siswa yang menolak tetapi ada juga yang menerima ketentuan tersebut. Umumnya siswa yang menolak bersikap acuh tak acuh dan saling berharap di antara rekan kelompoknya dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Bahkan ada siswa yang kelihatan hanya bermain-main atau bercerita dengan rekan sebangkunya tanpa mempedulikan temannya yang lain yang berusaha menyelesaikan tugas kelompoknya sehingga soal yang diberikan terkadang tidak terselesaikan secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD ini, umumnya siswa masih ragu-ragu untuk menanyakan soal-soal yang tidak dimengerti sehingga hasil pekerjaan tiap kelompok tidak terselesaikan dengan baik. Bahkan ada kelompok yang menyelesaikan soal yang tidak sesuai dengan maksud pertanyaan dari soal yang diberikan.
Ketika guru melontarkan pertanyaan sehubungan dengan tugas atau soal yang diberikan pun, umumnya siswa hanya berani menjawab secara serempak. Namun bila pertanyaan itu diulang dan guru minta satu orang siswa untuk menjawab hanya siswa tertentu saja yang mengacungkan tangan, yakni siswa yang kategori pintar. Mereka hanya saling berharap antara satu dengan yang lainya. Siswa baru mau menjawab apabila ditunjuk langsung oleh guru yang disertai dengan desakan dari teman-temannya. Ini berarti bahwa umumnya siswa masih memiliki sifat keraguan untuk menjawab pertanyaan apalagi untuk menyelesaikan soal di papan tulis.
Menjelang akhir pertemuan pelaksanaan siklus I, sudah menampakkan adanya kemajuan. Hal ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya jumlah siswa yang aktif untuk bertanya pada saat menyelesaikan soal secara berkelompok dan juga menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Pada umumnya siswa-siswa yang aktif tersebut hanya siswa yang sudah akrab dengan guru, siswa yang memang aktif dalam kelompoknya.
2. Refleksi Siklus II
Memasuki siklus II, perhatian, motivasi, serta keaktifan siswa semakin memperlihatkan kemajuan. Hal ini karena guru bertindak tegas dalam menegur atau mengingatkan bagi siswa yang bermain-main. Selain itu guru terus memberikan dorongan serta motivasi untuk bekerja bersama dalam kelompoknya. Saling membagi tugas kelompok untuk mencapai solusi atau menyelesaikan soal di kelompoknya. Bila terdapat siswa yang tidak aktif, maka temannya tidak segan melaporkannya ke guru. Bahkan rasa percaya diri siswa pun semakin meningkat, terbukti dengan semakin antusiasnya siswa untuk bertanya ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan. Dalam hal ini, bukan saja dilakukan oleh siswa yang kategori pintar, namun siswa yang semula hanya diam-diam saja sudah mulai aktif bertanya tidak segan-segan untuk memanggil guru meminta penjelasan bila mereka belum mengerti.
Selain itu, mereka juga sudah dapat menunjukkan keberanian mereka untuk tampil di depan kelas untuk menyelesaikan soal di papan tulis. Hal ini dapat terjadi karena dorongan serta dukungan dari teman-teman kelompoknya. Di samping itu mereka akan merasa dihargai dengan memberikan pujian atas hasil kerja mereka. Namun bila ada yang salah, guru memberikan komentar yang tidak menjatuhkan semangat siswa dari satu kelompok tertentu ketika meluruskan atau memperbaiki jawabannya.
Dalam siklus II ini, tugas yang diselesaikan secara individu diperiksa oleh guru dan lembaran tugas dikembalikan pada siswa, maka mereka cenderung saling membandingkan antara hasil yang mereka peroleh bahkan ada siswa yang meminta penjelasan guru bila mereka merasa kebingungan mengenai siapa di antara mereka yang pekerjaannya benar. Demikian juga dengan hasil pekerjaan kelompoknya, setelah diperiksa dan dikembalikan mereka cenderung saling membandingkan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini menimbulkan persaingan positif antar kelompok dan memacu semangat setiap kelompok untuk dapat menyaingi kelompok yang lain sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara perorangan.
Secara umum, hasil yang telah dicapai siswa setelah pelaksanaan tindakan dengan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD ini mengalami peningkatan baik dari segi perubahan sikap siswa, keaktifan, perhatian serta motivasi maupun dari segi kemampuan siswa menyelesaikan soal matematika secara individu sebagai dampak dari hasil kerja kelompok, dengan demikian metode ini telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan hasil belajar matematika siswa secara klasikal.

B. Pembahasan
Hasil-hasil penelitian memperlihatkan perubahan hasil belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD. Adapun yang dianalisis adalah tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II serta perubahan sikap, kehadiran dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
Penelitian ini menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai siswa adalah 7,500 dan skor terendah 4,700 dengan median 6,150 serta standar deviasinya adalah 0,737 sedangkan skor rata-ratanya adalah 6,103 dan rentang skor 2,800 dengan jumlah siswa 31 orang. Bahwa tak seorang pun siswa yang berada pada kategori rendah sekali, untuk kategori rendah 22,58% dan untuk siswa yang berada pada kategori sedang 45,16% dan siswa yang berada pada kategori tinggi adalah 32,26%. Jika skor rata-rata perolehan siswa pada siklus I ini yaitu 6,103 dikonversikan dalam kategori lima, maka hasil belajar matematika siswa pada siklus I ini berada pada kategori sedang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai dari 31 siswa adalah 8,700, skor terendah 5,000, dengan median 6,600 sedangkan standar deviasinya 0,997 dan skor rata-rata 6,623.
Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa tidak terlepas dari faktor perhatian dan motivasi siswa. Namun yang menjadi masalah adalah apakah melalui metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD pun dapat menarik perhatian, serta motivasi dan kesungguhan siswa untuk lebih berusaha dalam meningkatkan hasil belajarnya. Dalam membahas perubahan sikap siswa dalam mengikuti pelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD tidak terlepas dari perhatian serta motivasi dan kesungguhan siswa.
Perubahan tersebut merupakan data kualitatif yang diperoleh dari lembar observasi pada setiap pertemuan yang dicatat oleh guru pada setiap siklus. Perubahan-perubahan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

1. Hasil Tes Tindakan Siklus I
Berdasarkan nilai hasil pemberian tes setelah pelaksanaan tindakan siklus I terlibat secara umum hasil belajar matematika siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk di kategorikan sedang dengan nilai rata-rata 6,103. Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa masih rendah rata-rata perilaku siswa yang menunjukkan aktivitas mereka dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Hasil refleksi di atas menjadi acuan dilanjutkannya pelaksanaan tindakan kesiklus II dengan mengupayakan perbaikan dan pengembangan tindakan yang diberikan.

2. Hasil Tes Tindakan Siklus II
Berdasarkan nilai hasil pemberian tes setelah pelaksanaan tindakan siklus II terlihat bahwa secara umum hasil belajar matematika siswa kelas X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk dikategorikan tinggi dengan nilai rata-rata 6,623. Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada peningkatan rata-rata perilaku siswa yang menunjukkan aktivitas mereka dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

3. Hasil Prosentase Keaktifan Siswa
Berdasarkan presentasi keaktifan dan kehadiran siswa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Meningkatnya presentase kehadiran siswa, dari siklus I sebanyak 88,71 % selama 7 kali pertemuan menjadi 91,61 % dengan 9 kali pertemuan pada siklus II, dengan jumlah siswa 31 orang. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya motivasi siswa untuk mengikuti pelajaran yang dilaksanakan dengan cara berkelompok.
2. Perhatian siswa pada proses belajar mengajar dengan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD juga mengalami peningkatan, dari siklus I ke siklus II. Ini menunjukkan semakin bertambahnya siswa yang mengajukan pertanyaan mengenai materi pelajaran atau soal-soal yang tidak dapat diselesaikan. Dari siklus I sebanyak 16,77 % menjadi 21,93 % siswa pada siklus II. Ini berarti bahwa siswa menyadari pentingnya mengikuti pelajaran dalam hal ini belajar bersama dalam kelompok agar dapat lebih mengerti pelajaran dan tidak ketinggalan dari teman-teman yang lain, serta tidak lagi hanya bergantung pada teman kelompoknya yang lebih pandai.
3. Keberanian dan semangat siswa menjawab pertanyaan atau masalah yang diajukan oleh guru juga mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari sejumlah siswa yang turut terlibat dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah selama proses pembelajaran di kelas. Terlihat dari siklus I sebanyak 10,64 % meningkat menjadi 14,51 pada siklus II.
4. Rasa percaya diri siswa juga mengalami peningkatan dengan semakin bertambahnya jumlah siswa yang berani tampil untuk menyelesaikan soal di papan tulis. Meskipun terkadang ada siswa yang masih ragu-ragu untuk menyelesaikan soal di papan tulis, namun karena dorongan serta dukungan teman-teman kelompoknya sehingga memacu keberanian untuk tampil dengan penuh percaya diri terbukti pada siklus I sebanyak 9,03 % menjadi 11,61 % siswa pada siklus II.
5. Disamping itu peningkatan perhatian siswa juga dapat dilihat dari kedisiplinan siswa dalam mengikuti proses belajar secara kelompok di kelas, dengan berkurangnya siswa yang keluar masuk ruangan pada saat pelaksanaan metode pembelajaran kelompok.

4. Hasil Analisis Tanggapan Siswa
Dari hasil analisis terhadap refleksi atau tanggapan siswa, dapat disimpulkan kedalam kategori sebagai berikut:
1. Pendapat siswa terhadap pelajaran matematika
Sebagian besar siswa merasa senang dengan pelajaran matematika dengan alasan matematika merupakan dasar untuk mempelajari pelajaran lainnya, lagi pula menantang siswa untuk berpikir melalui penghitungan-penghitungannya. Di samping itu alasan lain yang muncul ialah bahwa siswa merasa senang dengan cara mengajar gurunya sehingga mereka dapat lebih mudah dan termotivasi untuk mempelajarinya, kendatipun demikian masih ada juga siswa kadang senang, kadang tidak senang. Dengan alasan apabila mereka tahu cara mengerjakannya, maka timbul rasa senang dan rasa tidak senangnya apabila mereka tidak dapat atau sulit dalam menyelesaikannya, maka matematika dirasa sangat membosankan apalagi siswa yang memang daya tangkap dan nalarnya agak rendah.
2. Tanggapan siswa terhadap metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD.
Secara umum tanggapan yang diberikan siswa dengan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD sangat bagus dengan alasan mereka dapat bekerja sama dan bertukar pendapat dengan teman kelompoknya sehingga apabila soal yang sulit diselesaikan atau kurang dimengerti oleh siswa yang satu, maka siswa yang lain dapat memberitahu atau menjelaskan. Bahkan siswa menginginkan agar metode pembelajaran ini dapat terus dilanjutkan.
3. Cara-cara Perbaikan Proses Belajar Mengajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif dengan pendekatan STAD
Saran-saran yang diajukan oleh siswa terhadap proses belajar mengajar dengan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD ini adalah sebagai berikut:
a. Pada umumnya siswa menyarankan agar guru lebih tegas dalam mengawasi setiap kelompok, agar tidak ada siswa yang merasa terganggu atau kelompok yang terganggu dalam bekerja kelompok pada saat mengerjakan tugas.
b. Agar dalam metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD ini, anggota kelompok harus bersifat heterogen, dalam arti bahwa siswa yang lebih pandai digabung dengan siswa yang kurang pandai dalam satu kelompok sehingga mereka dapat saling memberi informasi atau saling memberitahukan mengenai materi yang kurang dipahami kepada teman sekelompoknya.









BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar matematika siswa X-L SMK Muhammadiyah I Nganjuk dapat mengalami peningkatan melalui pelaksanaan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD.Hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan melalui pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siklus I yang berada pada kategori sedang, mengalami peningkatan pada siklus II yang berada pada kategori tinggi.
Hasil belajar matematika siswa per individu sebagai dampak dari pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD selama siklus I dengan skor rata-rata 6,103 dan pada siklus II meningkat skor rata-rata 6,623. Terjadi peningkatan frekuensi kehadiran siswa, perhatian dan keaktifan siwa dalam proses belajar mengajar sesuai dengan hasil observasi selama tindakan dilaksanakan maupun dari hasil refleksi siswa.
Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD, diawali dengan guru menjelaskan materi pengajaran secara klasikal selama kurang lebih 15 menit, kemudian siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat orang setiap kelompok. Guru memberikan soal yang sama dan diselesaikan secara kelompok, yang dilanjutkan dengan menyelesaikan soal yang identik secara perorangan sebagai dampak dari belajar bersama dalam kelompok. Sementara itu, guru dapat mengawasi dan mengontrol pelaksanaan tindakan tersebut.

B. Saran
Dalam mengajarkan materi pelajaran, sebaiknya guru tidak hanya terfokus pada satu metode saja, melainkan menggunakan beberapa metode. Melihat hasil penelitian yang diperoleh melalui pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD sangat bagus, maka diharapkan kepada guru-guru khususnya guru matematika agar dapat menerapkan metode ini dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa.
Setiap tugas yang diberikan diharapkan agar guru memberikan umpan balik supaya siswa dapat mengetahui sampai dimana kemampuannya. Dengan demikian, siswa dapat termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas berikutnya.



































DAFTAR RUJUKAN




1. Herman Hudoyo. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
2. Muslimin Ibrahim, Fida Rachmadiarti, Muhammad Nur, Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Suarabaya:UNESA.
3. Nana Sudjana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
4. Nurkancara, Wayang. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
5. Oemar Hamalik. 1983. Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.
6. Sahabuddin. 1994. Kemampuan Mengajar Tamatan IKIP UP pada Berbagai Jenis dan Jenjang Pendidikan dan Keguruan. IKIP Ujung Pandang.
)

PENDIDIKAN UNTUK KEHIDUPAN

PENDIDIKAN UNTUK KEHIDUPAN
(Metode Pembelajaran Quantum)
Oleh : Iin Yuristin N.,S.Pd
Guru Fisika SMA Negeri I Patianrowo

Pada saat ini kita masih sering melihat sistem pembelaran yang masih konvensional. Ketika guru mengajar di kelas selalu menempatkan diri sebagai pusat perhatian siswa. Disamping itu adanya kesan bahwa kegiatan mengajar hanya sebagai alat untuk mengejar target kurikulum saja dan untuk mendapatkan nilai akademik siswa. Sementara itu anak menguasai materi atau tidak guru cenderung masah bodoh.
Pengajaran seringkali dilakukan guru hanya dengan menerangkan sambil membaca buku atau menulis di papan tulis, mendikte, mencongak, menanyakan soal kepada anak, dan memberikan ulangan harian sekalipun anak belum paham materi yang akan dites. Komposisi murid dalam kelas pun tak diperhatikan. Satu kelas bisa dijejali 30 sampai 50 murid yang duduk berbaris dari depan ke belakang tanpa memperhitungkan bahwa dengan begitu interaksi guru dan anak didik tidak akan merata. Anak didik sekadar menjadi obyek di hadapan guru, dan sebagai akibatnya anak jadi bersikap pasif. Dan anak yang didik dengan target seperti itu, tak akan mendapat gambaran mengenai kondisi kehidupan di masyarakat yang sebenarnya. Padahal, sejak masuk TK hingga lulus SMA, anak telah menghabiskan kurang lebih 15 ribu jam selama hidupnya, tapi dia tidak siap saat terjun ke masyarakat. Dalam pendidikan konvensional tidak diajarkan nilai-nilai yang bisa dipegang dan dianut, sehingga pada diri anak didik tidak terbentuk karakter yang baik. Selain itu anak didik juga tidak dibekali metode pemecahan masalah. Karena itu janganlah heran jika sekarang ini sering kita menemukan sarjana yang belum siap memasuki dunia kerja. (Nakita, 2004 : 20-21).
Dalam Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa, standar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaksi, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Peraturan Pemerintah Nomor 19, 2005 : Bab IV Pasal 19 ayat 1 ).
Melihat kenyataan diatas perlu kiranya kita mencari solusi pemecahan yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas. Pertanyaannya sistem pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Metode pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif yang terbaik untuk anak didik kita?
Pada makalah ini penulis mencoba menerapkan sistem quantum teaching sebagai metode pembelajaran alternatif yang diharapkan bisa diterima oleh siswa sekaligus bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia


Konsep Pendidikan Nonkonvensional

Berangkat dari banyaknya kekurangan sistem pendidikan konvensional, kini para pakar pendidikan dan berbagai kalangan yang tertarik dalam bidang ini mulai mensosialisasikan metode/sistem pendidikan alternatif yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan konvensional. Konsep pendidikan nonkonvensional menerapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Guru sebagai fasilitator, observer dan desainer.

Guru menempatkan diri sebagai fasilitator ditengah-tengah anak didik yang diperbolehkan aktif mengemukakan pendapat. Dengan demikian, anak didik dapat menikmati pembelajarannya.
Guru juga bertuga s sebagai observer dan desainer. Dalam berbicara, guru selalu menggunakan kata “maaf, tolong, permisi, terima kasih”. Contoh, “Maaf, Haris, kalau kamu dipukul rasanya bagaimana? Sakit, kan? Nah, begitu juga teman kamu yang kamu pukul itu. Sekarang kamu harusnya bagaimana?”
Gurupun sangat menjaga kedekatan hubungan dengan anak-anak didiknya. Oleh karena itu guru harus sering berdiskusi dan berinteraksi dengan anak, sekalipun bukan mengenai pelajaran dan di luar jam pelajaran.

2. Pengajaran.

Menggunakan metode Active learning. Anak didik dibiasakan untuk mau berdialog, berbagi, dan berani mengungkapkan pendapat ataupun penemuannya, baik pada guru ataupun temannya. Sehingga mereka bisa memecahkan sebuah kasus atau permasalahan bersama-sama.

3. Memperhatikan Keunikan/kebutuhan anak didik.

Contoh, sebelum pelajaran dimulai diadakan dulu penawaran mata pelajaran kepaa anak-anak. Jika dalam satu hari terdapat 4 mata pelajaran, maka mereka bebas memilih pelajaran mana yang ingin dibahas dulu. Anak-anak yang mempunyai pilihan sama akan dikumpulkan dalam satu kelompok, sehingga semua anak pada hari itu bisa mempelajari semua mata pelajaran yang dijadwalkan.
Dari itu kita bisa melihat, bahwa sistem pendidikan alternatif sama sekali tidak memaksakan anak. Dengan begitu mereka belajar berdasarkan keinginan atau minatnya saat itu. Hasilnya, topik yang dipelajari akan lebih mudah diserap anak.
Selain itu, anak juga tak langsung dihadapkan pada materi pelajaran di kelas. Meareka sebelumnya diberi waktu bermain dan bereksplorasi di halaman sekolah atau istilahnya dilakukan zero mind. Bagaimanapun, hasrat anak bereksplorasi sangat besar. Jika hal itu idak dipuaskan atau disalurkan terlebih dahulu, bisa-bisa anak tak mampu tahan lama di kelas dan berkonsentrasi mengikuti pelajaran.

4. Ada sanksi.

Walaupun anak didik diberikan diberikan kebebasan seluasnya, orang tua tak perlu khawatir anaknya jadi kebal terhadap kepatuhan dan kedisiplinan. Sebab sekalipun terlihat bebas, sistem pendidikan alternatif juga menerapkan sanksi untuk anak didiknya. Bedanya dari yang konvensional, sanksi yang berlaku di sini dibuat atas kesepakatan bersama anak dengan guru. Ketika kesepakatan itu dilanggar, maka anak harus mau menanggung akibatnya.

5. Ciri fisik sekolah.

Memiliki halaman sekolah sebagai tempat bermain dan bereksplorasi yang memadai. Ada taman bunga, lapangan rumput dan lapangan tempat berolah raga.
Penataan interior kelas dibuat tidak kaku, tapi mengikuti kebutuhan interaksi guru-murid yang biasanya terdiri atas 2 guru dan 15-20 murid.
Meskipun jumlah murid di satu kelas tidak banyak, kursi dan meja yang disediakan bisa saja lebih sedikit. Misalnya, untuk kelas yang berisi 20 murid, maka kursi dan meja yang disediakan bisa saja cuma 10. Sisanya, anak bisa belajar beralaskan karpet dengan meja kecil yang ada didepan kelas, Jadi anak diberi kebebasan untuk memilih posisi tempat duduknya saat mengikuti pelajaran. Kesempatan memilih tempat duduk ini dilakukan secara bergilir.

Agar terpenuhi kenyamanan ruang geraknya, ukuran kelas pun, disesuaikan dengan kebutuhan. Paling tidak, satu anak membutuhkan ruang gerak seluas satu meter persegi. Jadi kalau muridnya ada 16, maka luas ideal kelas adalah 16 meter persegi.

Salah satu ciri sistem pendidikan alternatif adalah menggunakan sistem pengajaran dengan metode active learning . Salah satu jenis active learning yang tengah didengung-dengungkan belakangan ini adalah quantum learning. Metode pembelajaran ini mengupayakan pengelolaan kelas yang kondusif untuk menumbuhkan sikap positif dalam proses belajar. Salah satu syarat utama untuk menciptakan kelas yang kondusif ialah guru harus memperhatikan keunikan yang dimiliki setiap anak didik.

Dalam metode quantum diterapkan rumus AMBAK yang merupakan singkatan dari :

A : Apa yang dipelajari

Dalam pelajaran menggambar, misalnya, guru hanya menetapkan pelajaran menggambar, anak didiklah yang menentukan tema gambarnya sesuai minat masing-masing. Misalnya, mereka dibawa ke sebuah lapangan lalu dibiarkan menggambar hal-hal yang disukai.

M : Manfaat

Kadang guru lupa menjelaskan manfaat yang dipearoleh dari pelajaran yang diajarkan. Contohnya, pelajaran tentang fungsi serangga. Walaupun kecil, tanpa serangga, banyak kehidupan di alam ini bisa berhenti. Intinya guru harus memberi kemampuan memahami situasi yang sebenarnya (insight), sehingga murid tertantang untuk mempelajari semua hal dengan lebih mendalam.

BAK : Bagiku

Manfaat apa yang akan saya dapat di kemudian hari dengan mempelajari ini semua. Misalnya, pelajaran bahasa Mandarin bagi anak yang hidup di daerah pecinan akan sangat bermanfaat. Terlebih bila nantinya ia bercita-cita menjadi pelaku bisnis. Namun, Tidak begitu dengan anak-anak di Bali yang lebih memerlukan pelajaran seni tari dari pada bahasa Mandarin. Jadi, quantum lebih menekankan pada pembelajaran yang sarat makna dan sistem nilai yang bisa dikontribusikan kelak saat anak dewasa nanti.

Teknik pembelajaran quantum menggunakan teknik TANDUR, yakni :

T : Tumbuhkan minat belajar.
A : Aktifkan minat belajar.
N : Namai semua konsep pembelajaran.
D : Demontrasikan, dengan maksud supaya anak lebih memahami pelajaran.
U : Ulangi, semakin sering diulang maka semakin kuat pelajaran melekat dalam ingatan.
R : Rayakan, maksudnya apa yang sudah dipelajari anak ditunjukkan, sehingga orang lain juga tahu.

Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching, dikembangkan oleh seorang guru dalam pembelajaran. Quantum Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.

Pada perkembangan selanjutnya, Bobbi de Porter (penulis buku best seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov, dan Mike Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik.

Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Persamaan Fisika Quantum yaitu :
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
Bila metode ini diterapkan, maka guru akan lebih mencintai dan lebih berhasil dalam memberikan materi serta lebih dicintai anak didik karena guru mengoptimalkan berbagai metode.
Apalagi dalam Quantum Teaching ada istilah ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan hantarlah dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajara dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.
Selain itu, ada beberapa prinsip Quantum Teaching, yaitu:
1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.
2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.
3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.
4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.
5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.
Lebih jauh, dunia pendidikan akan semakin maju ke depannya. Sebab, Quantum Teaching akan membantu siswa dalam menumbuhkan minat siswa untuk terus belajar dengan semangat. Apalagi Quantum Teaching juga sangat menekankan pada pentingnya bahasa tubuh. Seperti tersenyum, bahu tegak, kepala ke atas, mengadakan kontak mata dengan siswa dan lain-lain. Humor yang bertujuan agar KBM tidak membosankan.

Penutup
Pemaparan makalah ini memang tidak secara teknis pragmatis. Konsepsi-konsepsi alternatif solusi sistem pendidikan sebagai wahana untuk menutupi kekurangan sistem pendidikan konvensional masih dibutuhkan dalam kaitan membangun idealisme sistem pendidikan yang baik untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa. Strategi kemudian perlu ditawarkan metode quantum teaching sebagai alternatif bentuk metode pembelajaran yang aktif dan menyenangkan anak didik. Tantangannya adalah bahwa masyarakat masih dalam posisi dinamis. Belum dapat ditemukan alternatif solusi yang tepat dan pasti sebagai rujukan sistem pendidikan nasional, karenanya wacana konsepsional dihadirkan di sini dalam rangka membangun idealitas sistem/metode pendidikan/pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang terus cenderung dinamis dan berkembang sampai saat ini.
Globalitas adalah realitas kekinian dengan berbagai kemungkinan perubahan Metode quantum teaching diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif metode pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Pemanfaatan sains dan teknologi sebagai media pembelajaran juga dibutuhkan untuk mencapai tingkat kemajuan seiring dengan globalitas di dunia pendidikan. Pada tataran berikutnya adalah konsisten dalam membangun metode pembelajaran yang kreatif dan sistem pendidikan yang menyenangkan. Yang pada akhirnya dukungan dari berbagai pihak yang bersimpati di dunia pendidikan dapat menjadikan alternatif metode pembelajaran quantum teaching sebagai solusi di dunia pendidikan. Guru merupakan faktor penting untuk memberikan pemahaman pengetahuan dan penanaman nilai kepada peserta didik. Harapan yang dapat disampaikan adalah guru hendaknya dapat berperan sebagai fasilitator, observer dan desainer dan tanggap terhadap perubahan dan perkembangan dunia pendidikan.
Kepada para rekan guru, semangat berkembang merupakan jawaban yang solusif untuk menjadikan metode quantum teaching sebagai metode alternatif dalam pembelajaran di sekolah. Selamat bekerja ……….!
Nganjuk, 21 Januari 2008.

Daftar Rujukan

Universitas Negeri Malang (UM). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi
Keempat). Malang : Biro Administrasi Akademik, Perencanaan dan Sistem Informasi.

Nakita Cetakan Pertama. 2004. Panduan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : PT Sarana Kinasih Satya Sejati.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 2005. Jakarta : Tanpa Penerbit.

Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan SarahSinger-Nourie. 2006. QuantumTeaching. Bandung : Penerbit Kaifa